Saturday, January 25, 2014

Cerpen Remaja

Untukmu, Aku Rela
(Syifa Aslamiyah Irsyadi)

Plis anterin aku cari kado buat dia. Besok kan dia ulang tahun. Dia kan sahabat kita. Plis,” dengan wajah memelas, Ranya memohon pada Yefa. Kamis sore kali ini terasa dingin. Langit memperlihatkan segumpal awan hitam di sana. Suara gemuruh mulai bersautan dari arah barat, sepertinya hujan akan turun sebentar lagi. Namun sore itu, dua sahabat sejoli, Ranya dan Yefa masih duduk di bangku depan kelas. Dua gadis cantik yang kini duduk di bangku SMP itu, terlibat adu mulut perihal kado untuk Disya, sahabat mereka. Esok, Disya akan merayakan ulang tahunnya yang ke-15.
Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, Ranya ingin memberi kado untuk Disya, apalagi ini adalah tahun terakhir mereka duduk bersama di bangku SMP. Namun tahun ini menjadi berbeda, Yefa dan Disya terlibat adu mulut hebat satu minggu lalu karena hal amat sepele. Satu minggu sudah mereka saling bersikap dingin. Tak sepatah kata pun akan keluar dari bibir mereka saat saling bertemu. Dan kini, Yefa amat membenci Disya. “Buat apa sih kita cari kado buat dia? Nggak penting banget?!” Yefa membentak Ranya. “Kamu nggak usah gitu dong. Kita kan udah sahabatan hampir tiga tahun. Kita ketawa bareng, nangis bareng. Masa’ sekarang malah jadi kayak gini? Aku rindu kita yang dulu! Kita, saat aku, kamu, dan Disya menjadi satu,” perlahan air di pelupuk mata Ranya yang sedari tadi ia tahan, meluncur juga. Yefa mulai tak kuasa melihat sahabatnya itu menangis sedu di depannya. Seolah ada malaikat yang membisik padanya, akhirnya Yefa pun luluh juga. Hatinya yang tadi bagai batu, kini mulai melunak. “Ya udah deh, kita cari kado buat Disya. Tapi kamu nggak usah nangis, aku nggak mau lihat sahabatku sedih,” sambil menyunggingkan senyum di bibirnya, Yefa mengusap air mata Ranya.
            Sore itu, menjadi sore bersejarah untuk dua sahabat sejoli. Dengan mengedarai sepeda motor, Ranya dan Yefa pergi menuju pusat kota untuk mencari kado yang akan dibingkis spesial dengan rasa sayang seorang sahabat. Namun langit sore itu tetap teguh pada pendiriannya. Langit semakin hitam dan rintik-rintik air mulai turun membasahi bumi. Di tengah perjalanan, Ranya dan Yefa harus merasakan dinginnya air hujan, namun hal itu tidak menjadi masalah besar untuk mereka. Ranya dan Yefa tetap melanjutkan perjalanan menembus hujan Sabtu sore. Akhirnya, mereka sampai di sebuah mall elite. Setelah memarkirkan motor, mereka memasuki mall itu. Dengan badan bayah kuyup, Ranya dan Yefa berjalan tergopoh menuju pintu masuk. Namun, mereka dihadang oleh seorang satpam bertubuh tegap besar. “Maaf, gembel dilarang masuk!” dengan nada membentak, satpam itu berkata pada Ranya dan Yefa. “Apa?! Jangan sembarangan nuduh pak! Kami ini bukan gembel! Bapak jangan asal nyeplos dong!” Yefa tak terima dengan tuduhan Satpam itu. “Udah deh mbak. Kalian itu kumal, gak karuan, basah semua badannya! Pergi sana!” Satpam itu memarah-marahi Ranya dan Yefa. Akhirnya, Ranya menarik pelan tangan Yefa untuk meninggalkan mall itu. Dengan amarah di hati, Yefa menurut. Ranya dan Yefa pun menuju tempat lain. Dan kini, mereka berdiri mematung di depan sebuah toko sederhana yang menjual aksesoris. Mereka pun memutuskan untuk memasuki toko tersebut. Tidak mereka duga, walau dari luar terlihat sederhana, namun koleksi aksesoris yang dijual cukup menarik perhatian. Setelah berputar-putar toko itu, akhirnya Yefa berhenti di sebuah sudut. Ia terdiam melihat sebuah kotak kecil berlapis warna emas yang didalamnya ada seorang pasangan yang siap berdansa. Ranya menepuk pundak Yefa yang sedari tadi diam membisu melihat itu. “Yef, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja kan? Atau kamu sakit? Yef?” dengan wajah panik, Ranya memegang dahi Yefa. “Eh.. Nggak kok. Aku cuma lihat kotak musik itu. Beberapa bulan yang lalu, aku sempat mengobrol dengan Disya tentang kotak musik yang di dalamnya ada seorang pasangan yang bisa nari gitu. Nah aku dulu pengen banget beli itu, tapi gak tau di mana belinya,” pandangan Yefa tetap lekat memandangi kotak musik. “Kamu pengen kotak musik itu? Ya udah, kamu beli aja,” Ranya ikut memandangi kotak musik itu. “Tapi waktu itu, kita udah janji bakal beli bareng. Kembar. Aku dan Disya pengen punya kotak musik kembar. Soalnya, Disya juga pengen banget beli kotak musik,” Yefa berkata dengan mata berkaca-kaca. Ia sedih teringat Disya. Mereka yang dulu sering bercanda ria, kini hanya saling diam dan bertatap dingin jika berjumpa. “Emm, gimana kalau kita ngado kotak musik ini aja?” tiba-tiba Yefa melonjak riang. Ia usap setetes air mata yang tadi mengalir di pipi tembemnya. “Tapi Yef, kamu kan juga pengen kotak musik,” Ranya berkata pelan sambil menatap lekat kotak musik kecil yang tinggal seorang diri di antara barang aksesoris lainnya. “Santai aja. Kan besok aku bisa cari di lain tempat. Yuk, kita ke kasir,” keikhlasan Yefa membuat Ranya sempat menitikkan air mata. Tepi cepat-cepat ia usap air mata bahagia itu, ia tak ingin membuat Yefa khawatir. Ia pun menyusul Yefa ke kasir untu membayar kotak musik itu lalu membingkisnya menjadi kado spesial. “Mau pakai kartu ucapan nggak, mbak?” penjaga kasir itu bertanya dengan ramah. “Emm, boleh deh mbak,” Yefa berkata sambil menyunggingkan senyum. “Nih, kamu yang tulis ucapannya,” Yefa menyodorkan kartu ucapan itu pada Ranya. “Emm, kamu aja deh yang nulis,” Ranya berkata halus pada Yefa. Akhirnya, Yefa pun menulis kartu ucapan itu. Yefa sempat mengucapkan maaf dalam kartu ucapannya. Rasa bencinya terhadap Disya perlahan luntur. Sambil menunggu kotak musik yang tengah di bungkus, Ranya dan Yefa terlihat mulai menggigil. Tubuh mereka masih dipenuhi air hujan yang tadi menghujami tubuh.
            Dengan modal nekat, mereka menembus jalanan kota yang masih diguyur hujan, tanpa mengenakan jas hujan. Tubuh mereka terasa kian menggigil. Namun perjalanan tinggal sebentar lagi. Jalan menuju rumah Yefa sudah mulai nampak dari kejauhan. Yefa menambah kecepatan laju motornya. Ranya mengingatkan Yefa untuk menurunkan kecepatannya dan berhati-hati. Namun karena dingin semakin menusuk tulang, Yefa tidak mengindahkan perkataan sahabatanya itu. Ia tetap memacu motornya dengan kecepatan di luar batas normal. Dan tiba-tiba, ada sebuah mobil yang menyebrang dari sisi kanan jalan. Mobil itu memasuki lajur mereka dengan kecepatan tinggi. Yefa pun tidak dapat mengendalikan sepeda motornya, ditambah lagi dengan jalanan yang licin oleh air hujan. Akhirnya, Yefa dan Ranya menghantam mobil itu. Mereka pun jatuh dan terlempar dari motor. Pengendara mobil yang kaget dengan bunyi keras di belakang mobilnya pun, segera menghentikan mobilnya dengan mendadak di pinggir jalan. Ia terdiam melihat Ranya dan Yefa yang sudah diam terlentang di bahu jalan. Pengendara lain yang melintas pun ikut menghentikan kendaraannya. Dengan dibantu oleh pengendara lain, pengendara mobil itu pun dengan segera membawa Ranya dan Yefa yang berlumur darah ke rumah sakit terdekat. Beruntung, mereka masih dapat diselamatkan.

            Sinar mentari mulai menerobos masuk kamar perawatan di RS Mitra Keluarga. Dengan rasa nyeri di kepala, Ranya melihat sekeliling. Terlihat seorang wanita dan seorang anak kecil tertidur di sofa kamar itu. Dengan suara amat lirih, Ranya memanggil wanita itu. “Mama...” wanita yang dipanggil itu pun bangun dari tidurnya dan langsung mendekati Ranya dengan wajah gembira. “Alhamdulillah nak, akhirnya kamu siuman,” Mama mencium kening Ranya yang dibalut dengan perban. “Ma, kok aku ada di rumah sakit?” Ranya terlihat bingung memandang sekeliling. “Iya nak, kemarin kamu kecelakaan. Untungnya, kamu selamat,” Mama mengusap rambut panjang Ranya. “Lalu Yefa mana, Ma? Yefa baik-baik aja kan?” Ranya bertanya panik pada mamanya. “Yefa di ICU. Kata dokter, luka di kepalanya cukup serius. Tapi dia pasti akan segera pulih kok, kayak kamu,” Mama menenangkan Ranya. “Ma, anterin Ranya ke ICU ya. Ranya mau lihat Yefa,” Ranya memohon pada mamanya. Karena tak tega melihat Ranya yang mulai tersedu, Mama pun mengantar Ranya ke ICU tempat Yefa dirawat. Tak diduga, tenyata ada Disya di luar ICU. Ia duduk melamun di bangku panjang depan ICU. Sambil tergopoh membawa infus di tangan kanan, Ranya mendekati Disya. “Dis, sejak kapan kamu di sini?” Ranya menatap mata sembab Disya. “Belum lama kok. Kamu baik-baik aja kan Ra?” Disya menyunggingkan senyum tipis di bibir mungilnya. “Iya, aku baik-baik aja kok. Kamu udah lihat keadaan Yefa? Dia baik-baik aja kan?” Ranya berkata lirih. “Yefa baik-baik aja kok. Tapi dia belum siuman. Kok kemarin bisa kecelakaan, gimana ceritanya?” Disya menatap wajah Ranya yang dipenuhi luka ringan. “Panjang deh ceritanya. Kemarin, kami cari kado buat kamu. Oh iya, selamat ulang tahun ya. Dan ini kado dari aku dan Yefa buat kamu. Semoga kamu senang menerimanya,” Ranya memberikan bingkisan kado yang tadi ada di tas miliknya yang kini dibawa oleh Mama. Disya pun membuka bingkisan tadi. Ia pun terhenyak ketika membuka kotak musik itu. Musik syahdu terdengar pelan di lorong rumah sakit yang mulai ramai. “Makasih ya. Kalian memang sahabat sejatiku. Aku sayang kalian,” Disya memeluk Ranya sambil mengusap air mata yang mulai deras membasahi pipinya. “Yefa yang memilih kotak musik itu sebagai kado,” Ranya menambahkan. Tangis Disya pun semakin tak terbendung. Ia memandang ke dalam ICU melalui kaca. Ia memandangi seorang gadis yang tertidur lemah di dalam. Ia hanya bisa berharap bahwa Yefa, gadis itu, segera pulih dan dapat berkumpul lagi dengannya dan Ranya. Karena ia tahu, bahwa mereka adalah sahabat sejati yang selalu rela mencurahkan kasih sayangnya untuk sahabatnya. Sahabat sejati yang selalu rela memberi pengorbanan untuk sahabatnya.

No comments:

Post a Comment