Thursday, March 14, 2013

Sejarah Emansipasi Wanita Dalam Islam



Jazirah Arab dan sebagian besar belahan dunia pada tanggal 12 Rabiul’awal, yang bertepatan dengan bulan Agustus 570 M, berada dalam periode kemanusiaan yang tergelap. Harkat dan martabat manusia diukur dari seberapa kuat dan kayanya seseorang. Perempuan menempati posisi terlemah dan terendah. Keberadaannya senilai dengan harta dagangan yang bisa diperjualbelikan, bahkan kelahirannya dianggap sebagai sebuah aib. Maka penguburan hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir menjadi pemandangan lumrah dalam kehidupan masyarakat Arab.
Di luar Arab pun, keadaan tidak jauh berbeda. Banyak wanita menjadi budak belian dan pemuas nafsu. Seperti diilustrasikan oleh Al-Abrasyiy dalam buku Keagungan Muhammad (1985), pada tahun 586M di Perancis pernah diselenggarakan suatu sidang yang membahas apakah wanita itu termasuk manusia atau bukan.
Hanya sedikit yang mengetahui bahwa pada tanggal 12 Rabiul’awal tersebut lahir seseorang yang beberapa puluh tahun kemudian akan mengangkat derajat kaum wanita, menjadikannya tiang negara dan meletakkan surga di bawah telapak kakinya.
Muhammad telah memperkenalkan suatu konsep yang indah. Yakni, satu-satunya hal yang bisa membedakan manusia satu dengan yang lain, yaitu ketakwaannya kepada Allah.
Di luar ketakwaan, Islam memberlakukan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan dalam hampir semua aspek kehidupan. Kebebasan baru diperoleh kaum perempuan untuk belajar, berinteraksi sosial, termasuk dalam mencari penghidupan dan memiliki kekayaan sendiri.
Beberapa perbedaan kecil yang diberlakukan bagi laki-laki dan perempuan tidak lain merupakan anugerah dari sifat Rahman dan Rahimnya Sang Khalik, yang maha memahami batas maksimum masing-masing ciptaan-Nya dan hanya yang terbaiklah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, meski terkadang anugerah tersebut diterima dengan salah sangka.
Risalah Muhammad juga memberikan apresiasi kepada para wanita yang berprestasi dan menjadi ikon peradaban dan perubahan. Misalnya Maryam, Aisyah, dan masih banyak lagi yang diabadikan dengan tinta emas dalam kitab suci dan sejarah Islam.
Dari mereka, sepatutnya seorang muslimah berkaca bahwa perubahan dan kemajuan yang seharusnya digagas oleh kaum wanita adalah kemajuan yang bermuara pada tujuan “li i’lai kalimatillah”, yaitu meninggikan kalimat Allah, bahwa kebebasan yang diperjuangkan adalah kebebasan yang berada dalam koridor ketakwaan. Kesetaraan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam hal belajar maupun bekerja, misalnya, dalam rangka membangun kapasitas diri untuk mengemban tugas suci berupa amanah Allah menjaga keberlangsungan lahirnya manusia-manusia yang berkualitas. Bukan kebebasan yang kebablasan sehingga justru semakin menenggelamkan wanita dari keluhuran nilai-nilai kemanusiaannya sendiri.

No comments:

Post a Comment