Jazirah Arab dan sebagian besar belahan dunia pada tanggal
12 Rabiul’awal, yang bertepatan dengan bulan Agustus 570 M, berada dalam
periode kemanusiaan yang tergelap. Harkat dan martabat manusia diukur dari
seberapa kuat dan kayanya seseorang. Perempuan menempati posisi terlemah dan
terendah. Keberadaannya senilai dengan harta dagangan yang bisa
diperjualbelikan, bahkan kelahirannya dianggap sebagai sebuah aib. Maka
penguburan hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir menjadi pemandangan
lumrah dalam kehidupan masyarakat Arab.
Di luar Arab pun, keadaan tidak jauh berbeda. Banyak wanita
menjadi budak belian dan pemuas nafsu. Seperti diilustrasikan oleh Al-Abrasyiy
dalam buku Keagungan
Muhammad (1985),
pada tahun 586M di Perancis pernah diselenggarakan suatu sidang yang membahas
apakah wanita itu termasuk manusia atau bukan.
Hanya sedikit yang mengetahui bahwa pada tanggal 12
Rabiul’awal tersebut lahir seseorang yang beberapa puluh tahun kemudian akan
mengangkat derajat kaum wanita, menjadikannya tiang negara dan meletakkan surga
di bawah telapak kakinya.
Muhammad telah memperkenalkan suatu konsep yang indah. Yakni,
satu-satunya hal yang bisa membedakan manusia satu dengan yang lain, yaitu
ketakwaannya kepada Allah.
Di luar ketakwaan, Islam memberlakukan kesetaraan bagi
laki-laki dan perempuan dalam hampir semua aspek kehidupan. Kebebasan baru
diperoleh kaum perempuan untuk belajar, berinteraksi sosial, termasuk dalam
mencari penghidupan dan memiliki kekayaan sendiri.
Beberapa perbedaan kecil yang diberlakukan bagi laki-laki
dan perempuan tidak lain merupakan anugerah dari sifat Rahman dan Rahimnya Sang
Khalik, yang maha memahami batas maksimum masing-masing ciptaan-Nya dan hanya
yang terbaiklah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, meski
terkadang anugerah tersebut diterima dengan salah sangka.
Risalah Muhammad juga memberikan apresiasi kepada para
wanita yang berprestasi dan menjadi ikon peradaban dan perubahan. Misalnya Maryam,
Aisyah, dan masih banyak lagi yang diabadikan dengan tinta emas dalam kitab
suci dan sejarah Islam.
Dari mereka, sepatutnya seorang muslimah berkaca bahwa
perubahan dan kemajuan yang seharusnya digagas oleh kaum wanita adalah kemajuan
yang bermuara pada tujuan “li i’lai
kalimatillah”, yaitu meninggikan kalimat Allah, bahwa kebebasan yang
diperjuangkan adalah kebebasan yang berada dalam koridor ketakwaan. Kesetaraan
hak dengan kaum laki-laki, baik dalam hal belajar maupun bekerja, misalnya,
dalam rangka membangun kapasitas diri untuk mengemban tugas suci berupa amanah
Allah menjaga keberlangsungan lahirnya manusia-manusia yang berkualitas. Bukan
kebebasan yang kebablasan sehingga justru semakin menenggelamkan wanita dari
keluhuran nilai-nilai kemanusiaannya sendiri.
No comments:
Post a Comment